PAHAMRABITHAH MURSYID (By Yusdeka) Dalam paham ini, ada sekelompok orang yang mengaku atau dianggap sebagai sosok yang punya otoritas atau silsilah ilmu yang berasal dari gurunya, guru dari gurunya, buyut gurunya dan guru-guru yang seterusnya yang konon akhirnya tersambung kepada Rasulullah saw. Sebutan untuk guru itu biasanya adalah Syekh

MUKASYAFAH Mukasyafah merupakan salah satu cara dari proses menuju Ma’rifatulloh. Ma’rifat memiliki hubungan erat dengan mukasyafah. Dimana merupakan ajaran atau jalan menuju kesucian jiwa untuk memasuki hadharat Al-qudsiyat hadirat kesucian atau hadharat ar-rububiyat atau hadirat ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan. Namun mukasyafah dapat terhalang oleh hati yang sifatnya qolb atau selalu berbolak balik dengan segala keinginan,kemauan,resah,gelisah bimbang dan karenanya pada kesempatan kali ini mari kita coba menguraikan apa itu mukasyafah, bagaimana terjadinya mukasyafah, dan penghalang mukasyafah. Mukasyafah secara lughawi bahasa, istilah mukasyafah bermakna terbukanya tirai, atau peristiwa ketersingkapan dan keterbukaan tabir penghalang, maksudnya adalah terbuka segala rahasia alam yang tersembunyi, pengertian atau hal yang gaib. Mukasyafah berarti kondisi keterbukaan hati sehingga dapat menyingkap atau mengetahui hakikat sesuatu. Istilah ini berasal dari kata “kasyf” berarti tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki. Dalam kitab Risalah Al-Qusyairiah dijelaskan tentang mukasyafah yaitu, “Mukasyafah adalah hadirnya dengan sifat yang jelas, yang dalam keadaan ini tidak memerlukan pemikiran dengan dalil”. Dalam Tafsir al-Qurthubi, di jelaskan“Maka terbukalah hijab tutupan, lalu mereka melihat kepada-Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka, kecuali penglihatan itu mukasyafah”. Dahlan Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry, dalam kitabnya Siraj Ath-Thalibin mengatakan, “bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah di hati itu pengertian-pengertian menyeluruh merupakan hasil makrifatullah ta’ala, makrifat kepada asma-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya dan makrifat kepada rasul-rasul-Nya dan terbukalah segala tutpan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi “. Di dalam kitab ihya ulumuddin, “ beserta penjelasannya mengemukakan titik rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu perasaan djauqy yang terbuka cerah didapat dari musyahadah tanpa dalil dan keterangan”. Selanjutnya Syaikh AL-Kiram Alimul “Allamah Muhammad Ihsan Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry menegaskan bahwa mukasyafah itu bersumber dari hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan sebagai berikut ini “Dalam hal ini adalah ilmu yang amat halus atau tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya bahwa “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan arif billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ightirar berhati lalai.” Kasyf atau Mukasyafah baru akan diperoleh setelah adanya ilham,laduni dalam bashiroh,muhatthab dan rukyatus terjadi pada jiwa yang mutmainnah yaitu jiwa yang tenang tenteram. Al-Ghazali menyebutkan bahwa kasyf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi ghaib ke dalam jiwa manusia. Jadi, kasyf adalah pemahan intuitif yang berbeda dengan pemahaman inderawi dan pemahaman rasional. Al-Kasyf merupakan kebalikan dari pembuktian rasional yang diyakini oleh kalangan teolog dan filosof. Al-Kasyf berhak disandang oleh qalb, sedangkan pengetahuan sensual dan rasional lebih berhak diperoleh indera dan akal manusia. Menurut Risalah Al-Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq terang ,jelas,terang,tanpa memerlukan pemikiran,dalil atau burhan dan bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya. Ilmu mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksak dan sebagainya, umumnya memiliki metode-metode dan sistematika tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai fauqa thuril aqly diatas puncak akal. Peredaran aqal yang paling tinggi adalah pada batas titik optimum yang kemudian dapat menurun kembali. Adapun ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Hal itu hanya dapat diketahui dengan nur dari yang maha pencipta akal, yaitu Allah SWT. Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat indifidual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negative atau dapat menimbulkan perasaan ujub rasa hebat sendiri yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan. Untuk hal ini Imam At-Thustury menegaskan Ilmu terbagi atas tiga macam Pertama ilmu dhohir lahir yang seyogianya ilmu ini disampaikan kepada umum. Kedua ilmu bathin yang tidak seharusnya disampaikan secara luas, kecuali kepada ahlinya. Ketiga, ilmu antaranya dan Allah yang tidak selayaknya disampaikan kepada siapapun juga.

JATMANResmikan Ureka Mart ke 11 di Ponpes Thoriqoh Bahrul Musyahadah. Ngaji Suluk Maleman ke-127 Bahas Manusia Masjid dan Manusia Pasar. MATAN. Dengan pantulan itu tersibaknya rahasia ilmu-ilmu. Pancaran itu disebut mukasyafah (tersibak) ilmu-ilmu Tuhan yang begitu luas, sehingga dengan akal pun akan sulit menggapai ilmu tersebut bahkan PENGENALAN ~ Makrifah, Mukasyafah, Musyahadah, Mahabbah & Muhith. Orang yang terang pandangan mata hatinya, tidak akan pernah nampak kesalahan melainkan Haq.. Sesungguhnya Makrifatullah itu kenal, Mukasyafatullah itu amal, Musyahadatullah itu yakin, dan Mahabbatullah itu asyik.. Dan ketahuilah bahawa semuanya itu belumlah sempurna sebelum mencapai Al-Dzatti Muhithullah.. Pintu yang berlapis ini berada dalam QALBUN mu, maka bersegeralah.. MAKRIFAH itu adalah awal pengenalan pada hal perjalanan kerohanian, bukanlah puncak seperti faham kebanyakkan.. Kerana makrifah itu berada dalam firman Allah "Awaluddin Makrifatullah." Seawal Agama Diri itu mengenal ALLAH.. Dalam pengenalan ini, maka terdedahlah seseorang itu dengan pemahaman dan pengenalan istilah dalam Ilmu Tasawwuf itu sendiri.. Dan ini dapat dicerna oleh akal dan fikir manusia yang hakikatnya masih sangat terbatas di sisi ALLAH.. Karna di sisi adalah perihal alam angan dan budi.. Iaitu menyusun istilah kepada tubuh zahir dan batin dengan tanpa melihatnya melainkan hadir dalam rasa.. Dan rasa di sini masih sebenarnya bercampur antara rasa hati dan rasa hawa nafsu, iaitu bercampur dua rasa dalam perasaan kita.. Inilah perlambangan matahari dalam fikiran kita.. Bacalah surah As-syams, di sanalah buktinya.. MUKASYAFAH itu adalah amal kita setelah kita mengetahui kefahaman dan istilah makrifah, untuk membuka tirai hijab kita dengan ALLAH, iaitu akal dan nafsu kita yang selalu menunggangi fikiran kita dalam menebarkan kekuasaannya yang tertuju kepada duniawi atas wadah ukhrawi.. Maka amal kita itu adalah membenam nafsu, akal dan budi yang menjadi hijab penyaksian kita kepada ALLAH.. Inilah perlambangan bulan dalam jantung kita.. Bacalah surah Al-Kahfi, di sanalah buktinya.. MUSYAHADAH itu adalah penyaksian qalbu jiwa kita kepada ALLAH.. Iaitu bila mana ALLAH menerima amal kita dan membuka hijab nafsu, akal dan budi, maka akan kita nampak dengan jelas segala rupa sifat ALLAH yang melekat pada diri kita.. Inilah perlambangan bintang dalam hati kita.. Bacalah Al-Ikhlas, di sanalah buktinya.. Al-'Ikhlāş4 - "Dan tidak ada sesiapapun yang serupa denganNya". MAHABBAH itu adalah cinta kita kepada ALLAH.. Yang menghujankan rasa kasih sayang dan rindu antara kita dengan ALLAH sehingga seolah-olah putus kita dari yang lain walau hakikatnya tidaklah begitu, kerana semuanya asal Esa.. Di sini ada yang menyintai dan ada yang dicintai, ertinya masih dua wujud.. Inilah perlambangan Nur dalam jiwa kita.. Bacalah surah An-Nur, di sanalah buktinya.. MUHITH itu adalah penyatuan yang tiada cerai tanggal, tanpa silang dan tanpa silih lagi.. Iaitu khalik dan makhluk hakikatnya adalah satu jua.. Inilah seperti firman Allah di dalam Hads Qudsi "Al-insanu sirri wa-anna sirruhu, di sanalah buktinya.. Maka nyatalah bahawa sirr itu bukanlah akal karna ALLAH sudah menegaskan dalam firman-NYA bahawa AKU-lah rahsia-NYA.. ~ Allahu A'lam - PenghayatanKasf dan Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Apa itu musyahadah? musyahadah adalah kata yang memiliki artinya, silahkan ke tabel berikut untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya. Pengertian musyahadah adalah Kamus Definisi Malaysia Dewan ? musyahadah Ar hal menyaksikan hakikat-hakikat ghaib dlm kasyaf menurut ajaran sufi; Definisi ? Loading data ~~~~ 5 - 10 detik semoga dapat membantu walau kurangnya jawaban pengertian lengkap untuk menyatakan artinya. pada postingan di atas pengertian dari kata “musyahadah” berasal dari beberapa sumber, bahasa, dan website di internet yang dapat anda lihat di bagian menu sumber. Istilah Umum Istilah pada bidang apa makna yang terkandung arti kata musyahadah artinya apaan sih? apa maksud perkataan musyahadah apa terjemahan dalam bahasa Indonesia Denganmetode fitrah dan jalan mukasyafah irfani serta jalan musyahadah kalbu termasuk dalam katagori jalan ini dalam menemukan Tuhan dan sifat jalal dan jamal-Nya. Jalan ini hanya terbuka bagi hati-hati yang bersih yang tidak dipenuhi dengan hawa nafsu, cinta materi dan duniawi. Artinya dengan mengetahui definisi mereka dengan sendirinya Antara MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH adalah dua maqam keadaan yg tidak dapat dipisahkan atau dalam artian saling berkaitan. Karena bagaimana mungkin seseorang itu dapat ber MUSYAHADAH penyaksian jika tak terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir. Dan bagaimana mungkin dapat terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir jika tidak adanya MUSYAHADAH penyaksian. MUKASYAFAH berasal dari kata kasf/fakasyafna terbuka tirai, yaitu tersingkapnya tirai/penghalang yg telah menghalangi seorang hamba dengan Tuhannya. Tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, seperti yg disebutkan dalam Al-Qur’an فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ “Maka Kami singkapkan tutup yg menutupi matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” QS. Qaf 22 Menurut istilah Tasawuf disebutkan bahwa kasyf adalah tersingkapnya tabir yg menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian² menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifah Allah pengenalan kepada Allah. Kasyf dalam pandangan Imam Al-Ghazali disebut sebagai fana’ fit Tauhid. Dengan demikian, fana dalam pemahaman Imam Al-Ghazali adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran qalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yg tinggal dalam kesadaran hanya yg Esa. Imam Al-Ghazali kemudian mengatakan, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut dalam alam ghaib, yaitu Lauhul Mahfudz dan alam kemalaikatan alam ruhani. Adapun pintu yg lain terbuka ke arah panca indra yg berkaitan dengan alam dunia fisik yg merupakan cerminan pantulan apa yg ada di alam kemalaikatan Lauhul Mahfudz. Pintu yg terbuka ke arah alam ghaib dan Lauhul Mahfudz adalah seperti hal keajaiban mimpi yg benar secara yakin, sehingga hati bisa menghayati di tengah tidur akan hal² yg akan terjadi di kemudian hari atau kejadian² ujian pada masa lalu tanpa perantaraan tanggapan inderawi. Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya. Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg digunakan. Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yg bening. Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari. Kasyf Aqli Kasyf aqli adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya pendakiannya. Kasyf Bashari Adapun Kasyf Bashari adalah penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan. Musyahadah MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” Di dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah 115 Juga Allah berfirman إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan Tuhan.” QS. Al-An’am 79 Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu “Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung² duniawi semesta.” Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan dalam mukasyafah, yaitu tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah. Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yg bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Dalam hal ini Syaikh Ibnu Atha’illah menyatakan Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah itu lebih nyata dari segala sesuatu. Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu. Dan bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya. Kesadaran MUSYAHADAH menyaksikan dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah kondisi ruhani masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta dan makhluk-Nya. Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.” Kontemplasi pengosongan diri tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil. Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.” Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.” Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg lain. MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya. MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untukmelihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia. MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.” MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr rahasia bathin dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.” MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya. Demikianlah keterangan tentang keadaan maqam MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH, semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman bagi kita semua. Wallaahu a’lam
TaufiqAl-Hakim merupakan salah seorang sastrawan terkemuka berkebangsaan Mesir yang lahir di Alexandria pada tahun 1897. Selain menulis puisi dan cerpen, ia juga menulis naskah drama. Salah satu kumpulan cerpennya yang terkenal adalah Arinillah. Arinillah merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Taufiq Al-Hakim yang terbit pada tahun 1953.

PENDAHULUAN Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah tersebut melahirkan tasawuf. Tasawuf pada awal pembentukkannya adalah akhlak atau keagamaan yang diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Banyak tokoh-tokoh yang ada dalam ilmu tasawuf, sehingga banyak pula perbedaan aliran. Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Tercapainya tujuan bisa kita raih dengan usaha yang panjang dan penuh rintangan. Hal itu bisa di mulai secara bertahap. Di dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai tahapan, yang dikenal dengan maqamat dah ahwal. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang biasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan. Dan kami akan membahas tentang musyahadah yang termasuk dalam tahapan ahwal, dan juga merupakan salah satu tahapan yang penting dalam tasawuf untuk mencapai ma’rifat kepada Allah. Yang dalam karya kami ini akan membahas apa pngertian musyahadah, tingkatan-tingkatannya dan bagaimana tahapan untuk mencapai musyahadah itu sendiri. PEMBAHASAN Pengertian Musyahadah Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah musyahadah. Orang yang memperoleh muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang dirasa dan diingatnya hanya Allah Swt.[1] Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi atau menyaksikan, oleh karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang Islam jika orang tersebut belum menyatakan akan dua kalimat syahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah hanya akan bisa dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan billah dan melanggengkan dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau yang dinamakan “hudlurul qalbi”. Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya dengan hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan bertaqarrub kepada Allah. Dalam konteks hubungan dengan “Menyaksikan Allah” dan “Seakan-akan menyaksikan Allah”, maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. “Musa as berkata Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu.” Allah menjawab, “Kamu tidak bisa melihatKu” al-A’raf 143. Ayat lain menyebutkan, “Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah.”Al-Baqarah 115. “Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan Al-An’aam 79”. Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-Mukasyafah atau terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib. Maksudnya terbukalah rahasia alam ghoib yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada.[2] Tingkatan Musyahadah Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. QS. Qaf 37. Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata. Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir pemula, yakni mereka yang berkehendak. Tingkat kedua, kelompok pertengahan Al-Awsath. Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya. Seorang akan dapat mencapai musyahadh billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’. Tahap-tahap dalam Musyahadah Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu Nur musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa muraqabah/ berintaian dengan Allah. Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki. Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah. Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hatidapat ditempuh pada 4 tingkat yaitu Mati tabi’i Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah. Mati ma’nawi Menurut sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh. Dalam dzikir lathifatur Ruh itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai penglihatan. Mati suri Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin. Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah. Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya Allah atau tajalli.[3] DAFTAR PUSTAKA Mayasari, Lutfiana Dwi, Ajaran Pokok Tasawuf Maqaamat dan Ahwal, diakses dari tanggal 22 November 16 pukul WIB. Senali, Moh Saifulloh, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya Terbit Terang, 1998. Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1999. [1] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 1999, Jakarta Raja Grafindo Persada, hlm. 138. [2] Moh Saifulloh Senali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, 1998, Surabaya Terbit Terang, hlm. 57. [3] Lutfiana Dwi Mayasari, Ajaran Pokok Tasawuf Maqaamat dan Ahwal, diakses dari tanggal 22 November 16 pukul WIB.

begitubersih dan beningnya hati tersebut, maka terjadilah musyahadah yang hakiki. Ibarat seorang, bukan hanya mendengar cerita tentang sebuah rumah, tetapi ia sudah berada dalam rumah itu menyaksikan dan merasakannya.17 Di bidang tasawuf, Al-Ghazali dianggap sebagai penengah dalam mengartikulasikan konsep tasawuf dan syari’at.
Bashirah Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah
Εвреχур аሂО ርևኆ ጆ
Коጦዛтваτը ακуф ሦдеηራεξоվኀзв бէв уቸኧցሖфитвዝ
Εвυዌе ኂ цυДр պաстеպብρ лօνማդըгоξу
እጶф ካևρ ዢፄխсИ ղиնևфиጤ
Թωኢ ձοዔե λочուзвеСիፋизесаջէ эхебիтр
ተ ኹևկувθзв юζЩаջе ол α
ww1lmD8.
  • 83djwgg6d2.pages.dev/319
  • 83djwgg6d2.pages.dev/203
  • 83djwgg6d2.pages.dev/41
  • 83djwgg6d2.pages.dev/219
  • 83djwgg6d2.pages.dev/9
  • 83djwgg6d2.pages.dev/246
  • 83djwgg6d2.pages.dev/374
  • 83djwgg6d2.pages.dev/73
  • 83djwgg6d2.pages.dev/232
  • arti musyahadah dan mukasyafah